BOLMUT – Dalam diskursus reformasi, desentralisasi atau otonomi daerah merupakan bagian dari keinginan untuk tercapainya tata kelola Pemerintahan yang lebih demokratis. Namun wacana desentralisasi tidak selalu identik dengan negara penganut sistem demokrasi.
Wacanaan desentralisasi juga diharapkan mampu membawa angin segar bagi pengembangan daerah yang baru seumur jagung, kemajuan ekonomi, kebudayaan yang mengarah pada perkembangan peradaban Nasional sebagai bukti berhasilnya desentralisasi yang lebih luas. fenomena mekarnya satu daerah tidak akan dan hanya bisa kita lihat dari kebutuhan daerah tersebut untuk mekar, lebih lanjut lagi bagaimana selanjutnya ketika mekar? Apakah akan bisa membawa amanat konstitusi untuk kemajuan daerah maupun Nasional.
“Dalam konteks negara modern pertimbangan kapital dan laba merupakan hal yang urgen, Sehingga bentuk negara yang memakai sistem apapun tidaklah terlalu di soroti ketimbang isu, kesejahteraan ekonomi yang mendapatkan porsi yang besar. Akan tetapi selain keamanan dan gender, Dalam desentralisasi sendiri adalah kesejahteraan yang lebih merata tidak bisa menjamin tercapainya tujuan tersebut.
Prud’homme (1995: 205) (dalam Marijan 2010: 148) mengilustrasikan bahwa dalam negara terdesentralisasi pengeluaran pemerintah daerah adalah 60% dari total pengeluaran pemerintah, pemerintah pusat dapat menaikan atau menurunkan permintaan total sekitar 1,2% dari GDP. Sementara itu, di dalam negara yang tersentralisasi, di mana pengeluaran pemerintah daerah hanya sekitar 10 % marjin dari pemerintah pusat akan mencapai 2,7 %, Dari pendekatan ini dalam desentralisasi sendiri mempunyai celah, sebagai daerah yang mekar di harapkan mampu membawa angin segar bagi pertumbuhan ekonomi Nasional.
Dalam analisis Homme tersebut mari kita mencermati proses lahirnya satu daerah baru yang di mekarkan tidak dalam euforia “Bebas Merdeka”, dalam budaya suka cita atau pesta pora.Tetapi seyogyanya apakah kita benar-benar harus lahir, dan mampu menjadi dewasa? Dewasa bukan sekedar dewasa, melainkan dewasa dalam artian matang untuk mengembangkan potensi diri. Secara praksis dalam teori ini dengan di mekarkannya satu daerah, kita tidak kemudian lebih kepada posisi oportunis, tapi apakah daerah baru tersebut tidak menjadi beban lebih kepada Pemerintah pusat. Seperti bertambahnya pengeluaran APBN kepada daerah, berupa Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK) dan Dana Bagi Hasil (DBH).
Tanah Binadou atau Bolaang Mongondow Utara (Bolmut) telah 10 tahun lamanya di mekarkan, namun10 tahun lamanya tersebut dalam nalar krits penulis ingin menyampaikan, sudahkah kita mempertanyakan mengenai keber-suka-an selama 10 tahun ini?. Ada amat banyak program dari pemerintah daerah itu sendiri yang sedemikian rupa di racik untuk mencapai visi daerah.
Sudahkah dari berbagai program-program tersebut telah berhasil memajukan tanah Binadou kita tercinta ini? Dalam perjalanan 10 tahun kita menjadi sebuah daerah yang terdesentralisasi, cita-cita dan janji-janji politik, berbenturan dengan fakta yang ada.
“program yang hemat penulis adalah yang paling strategis di banding program lainnya, yaitu setiap kecamatan menjadi daerah khusus pengembangan sektor-sektor yang mendukung kemajuan daerah. Kecamatan Sangkub di khususkan membangun sektor pertanian, Bintauna dengan Pendidikannya, Boalngitang Timur sektor Industri, Boangitang Barat Dan Kaidipang sektor tata kelola Pemerintahan, dan Pinogaluman sektor Kelautan, tetapi sampai saat ini belum jelas arah dan tujuannya. Pembangunan daerah dengan mengkhususkan tiap kecamatan mengelola satu sektor badan usaha merupakan langkah inovatif dan visioner.
Bolmut Butuh Kampus Itikad baik Pemerintah Daerah seperti yang tertuang dalam UU Nomor 23 Tahun 2014 Bab I Pasal 1 ayat 5 yang mengunakan term, melindungi, melayani, memberdayakan dan mensejahterakan rakyat adalah patokan normatif bagi satu daerah. Terma seperti itu merupakan bentuk umum dari konsepsi negara modern. Proporsi ideal atau tidak daerah adalah bagaimana mengejawantahkan terma tersebut.
“Pembangunan sektor khusus ditiap kecamatan di Kabupaten Bolaang Mongondow utara merupakan salah satu cara pengejawantahan terma dari amanat undang-undang. Pembangunan strategis ini bukan hanya menggugurkan amanat undang-undang yang sifatnya normatif, melainkan memutus mata rantai kritik Homme seperti yang telah dijelaskan diatas. Pasalnya, pembangunan ini memungkinkan untuk Kab. Bolaang Mongondow Utara mandiri secara ekonomi, kebudayaan dan tata kelola pemerintahan.
Pembangunan sektor Pendidikan dalam laporan BPS Kabupaten Bolaang Mongondow Utara tahun 2018 mengenai statistik kesejahteraan rakyat, pada usia 7-24 tahun menurut karakteristik pendidikan : Belum pernah bersekolah 0.35 %,SD/Sederajat 39.36%, SMP 17.64 %, SMA/Ke atas 25.61%, dan Tidak Bersekolah Lagi 25.61%. Laporan BPS Bolmut ini cukup menggambarkan mengenai gep yang terjadi dalam dunia pendidikan, Adanya jarak 14 % antara tingginya angka (warga) yang hanya sampai pada taraf pendidikan dasar dibandingkan rendahnya lulusan SMA/Ke atas.
Hal ini menjadi kekhawatiran khusus bagi daerah sendiri, karena Pembangunan disektor pendidikan teramat penting, mengingat bukan hanya mencetak tingginya Indeks Pembangunan Manusia dalam angka statistik. Akan tetapi Melainkan, sumbangan kelas menengah terbanyak dari sektor pendidikan. Atau dalam pembangunan ekonomi, pendidikan mempunyai pengaruh besar sebagai stimulus gerak cepat roda perekonomian.
Dalam analisis ekonomi-politik diluar dari mazhab klasik, yaitu mazhab intitusional, diskursus ini menjelaskan mengenai anomali yang terjadi dalam dunia ekonomi bisa saja diperbaiki atau dipengaruhi dengan faktor diluar ekonomi. Secara pragmatis kita bisa menyimpulkan pendidikan tidak bisa menjadi opsi kedua bagi pembangunan daerah. Jika pendidikan kita rendah maka kebudayaan kita akan rendah dengan sendirinya. Al Makin menjelaskan dalam Barat dan Timur (2015) mengenai kuasa pengetahuan yang bisa menghegemoni dan menjajah satu kebudayaan.
Penguasaan pengetahuan mengenai ke-kita-an jika direbut oleh orang yang yang bukan bagian dari kita bisa menimbulkan bias, yaitu untuk apa pengetahuan itu digunakan. Hal seperti ini bisa dilihat misalnya, pandangan orientalis mengenai negeri Nusantara berisi para pengamal penyembah batu dan arwah, akhirnya ujung-ujungnya kita (bangsa Nusantara) merasa tidak percaya diri berhadapan dengan dunia luar.Ilustrasi itu bukan hanya berada pada skop besar (Nusantara), Boalaang Mongondow Utara bisa saja masuk dalam kemerosotan kebudayaan tersebut jika hal ini tidak diseriusi.
“Selama satu dasawarsa terakhir kita telah cukup lama melihat kebanggaan ibu kota Manado atau daerah tetangga Gorontalo dengan pembangunan pendidikan yang menyumbang angka cukup baik dalam sektor ekonomi, kebudayaan dan Indeks Pembangunan Manusia. Penulis ingin berkesimpulan sekaligus menyarankan kepada pemerintah daerah untuk memajukan segala lini pembangunan khususnya dalam hal ini sektor pendidikan.
“Pembangunan sektor pendidikan yang dimaksud adalah pembangunan yang mandiri. Ada berapa banyak potensi anak daerah yang mengabdikan pengetahuannya untuk negeri seberang, atau ada berapa banyak uang hasil keringat didaerah sendiri yang beredar dan menjadi kekuatan ekonomi daerah lain, karena tidak adanya pilihan untuk mendapatkan pendidikan yang bermutu didaerah sendiri. Keresahan seperti ini menjadi warisan dan akan menjadi tamparan keras dikemudian hari.
Di tahun 2010 gagasan mengenai kemandirian pendidikan kita dari tingkat dasar sampai lanjut (tingkat universitas) pernah dicanangkan berupa kegiatan seremonial (Peletakan Batu Pertama Pembangunan Kampus). Sampai saat ini harapan ini masih terpupuk dalam, di setiap dada masyarakat Bolaang Mongondow Utara. Kebutuhan akan kampus penulis nilai sangat mendesak karena beberapa alasan. Pertama, seperti yang dijelaskan diatas, faktor non-ekonomi bisa membantu dan mendorong bagaimana wajah ekonomi nanti. Sistem pasar sebagai penentu ekonomi bukanlah patokan satu-satunya. Ada faktor empirik, norma, nilai, budaya dan lain – lain yang bisa mendorong perekonomian.
Bisa dibayangkan keberadaan kampus yang ikut menstimulus bertumbuhnya ekonomi, dari ketersediaan lapangan kerja, UKM dan Industri Kreatif mulai bermunculan dimana-mana. Bonus demografi yang menjadi momok menakutkan juga jika lapangan kerja kurang, nantinya bisa teratasi. Kedua, menguatnya akar kebudayaan. Ada alasan tersendiri mengapa kementerian pendidikan dirubah dan digabung menjadi kementerian pendidikan dan kebudayaan. Hemat penulis dua wilayah merupakan diskursus yang sukar untuk dipisahkan. Keterpautan antara dua wilayah ini berupa gejala dan faktor. Dalam dunia pendidikan, peserta didik ditempa dalam proses pemeradaban. Jika faktor ekonomi, secara sosiologis, meminjam Durkheim, menciptakan Solidaritas mekanis, yaitu hubungan yang didasari spesialisasi kerja maka menguatnya kebudayaan, menciptakan solidaritas organi, yaitu hubungan yang didasari atas norma dan keyakinan bersama.
Kedua faktor tersebut menurut penulis telah memenuhi secara umum Kab. Bolaang Mongondow Utara “How To Be”. Dari faktor ekonomi pemerintah setali tiga uang bisa menuntaskan permasalahn yang berkaitan dengan ekonomi dan meningkatkan PAD (Pendapatan Asli Daerah). Sedangkan menguatnya akar kebudayaan melalui riset-riset, sumber daya manusia yang melimpah sehingga peradaban maju adalah langkah ideologis sesuai amanat Pembukaan UUD 1945, “..mencerdaskan kehidiupan bangsa. Dari segi pragmatisnya ada banyak hal lagi yang belum terurai dalam tulisan ini, Tapi yang terpenting adalah meminjam Spencer mengenai kolektifitas yaitu kekuatan yang menyeimbangkan antara satu dan lainnya.
Bolmut kedepan memerlukan kolektifatas diantara enam kecamatan untuk membangun lebih jauh peradabaan, Cita-cita berdirinya kampus di Bolaang Mongondow Utara jug harus dimulai dengan nilai kolektifitas hubungan antara Penguasa dan Rakyat,”
Penulis
(Muh. Ersad Mamonto)
Komentar