netizen beramai-ramai mengomentari status pemilik akun Hendra Makalalag, Jumat (5/5) lalu, yang diunggahnya di sebuah grup jejaring sosial dengan sepenggal tulisan menyertai sebuah foto. Di akunnya, Hendra Makalalag yang diketahui Sekretaris Dinas Perhubungan Pemda Bolmong ini menulis,—yang kurang lebih—menyoal Pemda Bolmong Selatan tidak memperhatikan (bantuan beasiswa) putra daerahnya yang tengah melanjutkan studi pasca sarjana di kampus ternama di Kota Bogor.
Terlepas beragam komentar para netizen di status akun Hendra Makalalag—juga dikenal akrab dengan Sehan Ambaru—itu, pria yang saya sebut sejak awal gila urusan ini, ikut nimbrung dengan macam tudingan. Lagak aktivis kesiangan, dia menyebut kepala daerah—yang dimaksud Hendra Makalalag—otoriter (semoga tidak berujung di ranah hukum). Selanjutnya, ratusan ragam komentar di grup jejaring sosial ini saling bersahutan. Tidak terkecuali pemilik akun yang dijadikan sasarannya.
Ungkapan Sehan Ambaru tidak sedikit telah memantik emosi pembacanya. Dia mengumbar ucapan tak senonoh pada tokoh panutan di daerah itu. Sadarkah (tengah) menghadapi dengan siapa? Pengikut fanatiknya boleh jadi akan berurusan dengan salah satu kurcaci ini. Mereka terganggu dan (sudah pasti) marah besar ketika pemimpinnya di ‘serang’. Di tulisan ini saya tidak mengancam melainkan mencoba mengingatkan lebih baik segera membenah diri. Namun, peribahasa—yang saya masih ingat betul diucapkan seorang mantan penguasa—“Beras yang tertumpah di jalanan, tidak semua dapat dipungut kembali”, melekat pada apa yang telah diucapkan di ruang publik.
Beberapa kawan yang menjumpai saya baru-baru ini berujar, laku ajaib Sehan Ambaru sebagai ASN di Kotamobagu begitu leluasa liar menyerang figur pemimpin di Bolmong Selatan. Tanpa harus dibendung, ‘drama’ yang dimainkan pejabat eselon III, Sehan Ambaru, ini membangkitkan beragam tafsir; satu diantaranya, mungkinkah ini adalah ‘titipan’ oleh pimpinan yang berkuasa; juga ada yang menduga, Sehan Ambaru, adalah ‘boneka’ yang disiapkan oknum berkepentingan untuk menghardik sang rival di ajang politik nanti. Tapi bagi saya, Sehan Ambaru hanya mencari sensasi murahan yang diharap berujung pada kemesraan.
Bila demikian motivnya, saya ingatkan lagi, upaya ini bakal sia-sia. Pribadi yang dia serang bukan tipe pemimpin di era emas Persibom. “Anda menyerang berakhir ‘disayang’”. Meski demikian, saya menaruh iba padanya. Saya tidak berharap tulisan ini kemudian disambutnya dengan bersusah payah.
Terpintas saya teringat badut. Bayangan yang digambarkan pada lakon ini pasti adalah pelawak atau penghibur dengan menggunakan alat bantu berupa topeng atau hiasan wajah yang dipoles dengan bedak tebal dan berkostum aneh serta mempertontonkan adegan-adegan kocak dan lucu. Tingkah badut membuat orang tertawa dan terhibur.
Pertunjukan badut ini sesungguhnya telah Sehan Ambaru pertontonkan. Semakin lucunya karena dia tidak malu-malu. Tidak sedikit orang tertawa dan terhibur menyaksikan tingkah laku konyolnya. Dalam hal ini, badut yang Sehan Ambaru lakoni tidak menggunakan alat bantu tersebut. Melihat sosok Sehan Ambaru ini, sejatinya badut itu sendiri. (*)
Komentar