Peristiwa Lahirnya Loloda Mokoagow

TADOHE terus mondari-mandir. Dia punya setumpuk agenda. Bagaimanapun dia harus memperhatikan perkembangan wilayah kekuasaannya. Kehadiran tetangga jauh mulai dari Mindanau, Gowa, Ternate, Tidore, tak bisa dia biarkan tanpa menjalin komunikasi dengan mereka. Terlebih ada juga dari tempat yang jauh, yang memang berbeda sama sekali mulai dari bahasa sampai warna kulit—bahkan warna rambut. Spanyol, Portugis, Belanda, Inggris. Semua itu tak bisa dia biarkan. Tak ada yang tahu apa yang orang-orang asing itu pikirkan. Namun jelas mereka sangat ingin berkuasa di tanah yang jauh dari negerinya ini.
Bangsa berambut api ini sebenarnya bisa saja dia tampar dan tendang sehingga pulang ke kampung halamannya. Namun mereka punya senjata yang berbunyi di sini tapi mati di sana, jelas mengalahkan parang dan menembusi kekebalan tubuh Bogani yang paling sakti sekalipun. Selain itu, terkadang mereka sangat licik, suka mengadu domba agar mendapat keuntungan. Soal senjata Tadohe yakin bisa mengatasi dengan merampasnya, namun soal kelicikan dia tak boleh lengah. Terlebih dia sadar bahwa ego dari setiap wilayah yang dikuasainya sangat tinggi sehingga sangat muda diprovokasi.
Dengan segala hal itu, ancaman bisa datang kapan saja, dari mana saja dan dari siapa saja. Namun, saat ini, semua itu seolah terlupakan. Tadohe terus mondar mandir.
“Tenangkanlah hatimu hai Punu’, anakmu ini lain dari lainnya. Dia tak ingin lahir sembarang waktu. Dia menantikan peristiwa untuk mengenang kelahirannya,” kata seorang nenek tua yang duduk bersila sambil mengunyah sirih dari dalam kabela, badannya yang bungkuk tetap kelihatan walau dia duduk. Di depannya tergeletak tongkat kayu yang diberi nama Tongkat Kilat.
Tadohe memandangi yang bicara, nenek-nenek itu sangat dia hormati dan segani. Nenenek-nenek itu yang telah membuat dirinya menjadi Punu’ yang menguasai tak hanya bulud bo lopa in Bolaang bo Mongondowtapi juga Tontemboan sampai Manarow.
Tak hanya Tadohe yang segan serta hormat pada nenek-nenek itu melainkan semua kuasa yang ada di wilayah ke-punu’-an Bolaang bo Mongondow. Dia bahkan dikenal lama setelah kehilangannya. Dialah Inde’ Dow.
Inde’ Dow sudah demikian tua, badannya sudah bungkuk, tubuhnya tinggal ditopang oleh tongkat yang juga menjadi senjatanya. Di samping Inde’ Dow, dua pengawal setianya Antong dan Oyotang juga sudah sangat tua. Ketiganya adalah penopang utama Punu’ Tadohe, ketiganya yang bahu membahu menegakan hak Tadohe sebagai Punu’ di wilayah kekuasaannya. Tadohe melihat ketuaan ketiganya sebagai awal dari keruntuhan Bolaang dan Mongondow.
“Apakah dia akan kuat, Inde’?” tanyanya penuh harap.
Inde’ Dow tersenyum. Pipinya yang keriput sangat bertolak belakang dengan giginya yang masih utuh. “Dia kuat sekali, tidakkah kau lihat dia masih tetap bertahan di rahim Boki walau seharusnya dia sudah berada di dunia?”
Tadohe memandangi Inde’ Dow dengan tatapan menghiba. “Dia harus kuat, Inde’. Dia harus kuat. Dia tak sepertiku yang masih ada kalian sebagai penolong. Dia sudah sendirian, sementara musuh ada di kiri-kanan dan muka-belakang. Kasihan dia,” Tadohe menghiba.
“Apakah kau yakin anakmu ini yang akan menggantikanmu? Bagaimana jika dia perempuan?” tanya Bantong.
Sesungguhnya persoalan jenis kelamin telah jadi diskusi yang panjang dalam dirinya. Dia sudah memutuskan bahwa itu bukan persoalan. Melihat pengaruh yang luar biasa dari ibu angkatnya, Inde’ Dow, dia yakin bahwa jenis kelamin tak menjadi persoalan.
“Saya tak mempersoalkannya, Aki. Tapi semua tergantung pada para Bogani. Merekalah yang berhak menentukan,” kata Tadohe. Dia sangat sadar, walau telah mengadakan perjanjian dengan rakyat dalam dodandian Paloko-Kinalang namun dia bukanlah penentu siapa yang akan menjadi penggantinya. Para Bogani yang menentukan siapa yang menjadi Punu’, pemimpin tertinggi yang mempersatukan wilayah Bolaang dan Mongondow serta menjaga seluruh wilayah kekuasaan ke-Punu’-an yang meliputi Bolaang dan Mongondow, Tontemboan, sampai Manarow.
“Serahkanlah semua kepada Ompu Duata, Punu’. Dialah yang menjadi penentu bagaimana hidup dan kehidupan di dunia ini,” kata Inde’ Dow.
Tadohe sadar. Ya, semua memang tergantung pada Ompu Duata. Walau dia adalah penguasa tertinggi, seorang Punu’, namun dia sendiri adalah dibawah kekuasaan Ompu Duata.
Sedang pusing dengan pikirannya, datanglah seorang, napasnya tersengal-sengal, pakaiannya telah dipenuhi keringat.
“Ada apa?” tanya Tadohe.
“Ampung, Tuang. Di pantai Belang telah datang banyak sekali kapal dari Tidore. Mohon kebijakan Tuang akan diapakan,” kata orang itu, napasnya masih tersengal.
Ibantong yang dari tadi duduk bersilah dengan khidmat langsung berdiri, wajahnya, dia marah luar biasa. “Mmm, saat begini ada yang berbuat rupa-rupa, ayo serang mereka,” katanya, berulang-ulang dia mengeram.
Tadohe bingung. Bantong memang punya sikap pemarah, terlebih jika daerahnya diganggu. Dia tidak takut pada siapapun, dia tunduk pada Inde’ Dow bukan karena takut melainkan karena segan. Tadohe selalu bingung jika Bantong sedang marah. Tadohe memandangi Inde’ Dow.
“Pergilan, Punu’, kau lihatlah apa yang terjadi dan putuskanlah apa yang akan kau lakukan,” kata Inde’ Dow.
Tadohe segera ke kamar untuk bersalin dengan baju perang. Dia masih sempat mendengar nasehat Inde’ Dow untuk Bantong
“Kau jaga anakku itu, Antong, kau dengarkanlah dan patuhi apa yang dia perintahkan. Tadohe itu pemimpinmu, pemimpinku, pemimpin kita semua.”
Setelah selesai bersalin, dia pun menghadap ke Inde’ Dow, bersilah dan menunduk. Dengan wibawa seorang ibu, Inde’ Dow memberkatinya dengan meniup dahi dan ubun-ubunnya. “Pergilah, Punu’. Putuskanlah apa yang terbaik untuk negerimu. Jangan kau pikirkan apa yang hanya jadi persoalan dalam dapurmu. Biar aku yang mengurus persoalan di sini,” kata Inde’ Dow, tangannya yang sudah keriput menepuk bahu Tadohe.
Dengan berlari mereka menempuh Passi-Kotabunan untuk ke Belang. Setengah hari baru mereka sampai. Benar, di pelabuhan telah berderet perahu yang memang bukan milik para sekutu Bolaang dan Mongondow.
Ibantong mengeram, tanpa menunggu perintah dari Tadohe, dia menyerang. Orang-orang dikapal itu kebingungan, mereka berusaha melawan namun Bantong sangat susah dilawan. Tadohe pun memerintahkan pasukannya untuk menyerang karena dia melihat orang-orang kapal itu terus melawan dan tak ada tanda-tanda untuk menyerah. Setelah beberapa lama bertempur, dengan musuh yang terdesak, terlihatlah tanda-tanda lawan menyerah.
Ternyata orang-orang itu dari Loloda. Mereka melarikan diri dari desakan kerajaan Ternate. Pada saat itu juga dia mendapat kabar bahwa permaisurinya telah melahirkan anak lelaki. Inde’ Dow benar, ternyata anaknya menunggu suatu peristiwa untuk mengenang kelahirannya. Karena itu, dia memberi nama anaknya itu LOLODA MOKOAGOW yang berarti bisa merampas perahu milik orang-orang Loloda.(*)

Komentar