BOGANINEWS – Pasca runtuhnya orde baru di tahun 1998, secara otomatis digantikan dengan era reformasi. Dimana, pemilihan Legislatif, Presiden, Gubernur, Wali Kota dan Bupati dilaksanakan secara demokrasi.
Rakyat diperhadapkan dengan dengan pilihan sesuai dengan hati nurani, menandakan rakyat berkuasa atas siapa yang akan mewakili mereka di eksekutif maupun legislatif. Baik itu di tingkat Daerah hingga di pusat.
Pemilu Umum (Pemilu), merupakan salah satu cara untuk menentukan arah perjalanan bangsa sekaligus menentukan siapa yang paling layak untuk menjalankan kekuasaan pemerintahan tersebut (Sardini, 2011).
Sehingga pemilu merupakan wadah untuk rakyat agar dapat terlibat secara langsung di pemerintahan. Tentunya, melalui pemilu dan peserta pemilu rakyat berhak untuk dipilih maupun memilih.
Negara Indonesia tentunya menganut negara hukum. Berarti suatu negara yang diatur sesuai dengan ketentuan yang ada, dan tentunya mempunyai peraturan-peraturan yang berlaku.
Kita ketahui bersama, negara hukum tidak dapat dipisahkan dengan kedaulatan rakyat atau yang disebut demokrasi. Dalam negara demokrasi sendiri dapat dikonsepkan bahwa pemerintahan adalah dari rakyat oleh rakyat, dan untuk rakyat. Sehingga dalam negara demokrasi ini, setiap orang memiliki hak dan kesempatan yang sama.
Sementara itu, hak kita yang bisa dipilih atau memilih dalam pemilu tentu dibingkai dengan asas-asas pemilu yaitu luber jurdil, (Lugas, bebas, rahasia, jujur dan adil).
Berbicara politik uang tentunya masyarakat sudah tidak asing lagi dengan hal tersebut. Bahkan, sebagian orang mengatakannya bahwa politik uang merupakan warisan buruk dari para pemimpin-pemimpin sebelumnya yang sudah menjadi kebiasaan hingga saat ini.
Ketika melihat akhir dari pilkada maupun legislatif ada saja yang berakhir dengan gugat menggugat, dan sudah pasti dari beberapa materi gugatan ada, tercantum yang namanya politik uang.
Melihat hal tersebut, tentunya kita sebagai warga negara yang mempunyai cita-cita untuk terlibat secara langsung di pemilu, sedangkan bukan dari kalangan yang berduit ataupun punya keluarga yang berada di kursi empuk kepemimpinan, harus berpikir dua kali bahkan beberapa elit politik yang sudah ada di ruang legislatif dan top eksekutif menyarankan jika ingin kekuasaan melalui pemilu harus mempunyai “modal yang tebal”.
Namun disisi lain, ajang lima tahunan itu merupakan hal yang ditunggu-tunggu oleh masyarakat. Karena dengan begitu, rakyat yang tidak terlibat langsung di Pemilu akan mendapatkan keuntungan atau kata lain di daerah saya “serangan fajar”, yang dibagikan melalui data yang disodorkan oleh tim sukses.
Sedari awal penulis berani memberikan judul “warisan buruk politik uang” karena kita sudah diajarkan dari pendahulu kita untuk bermain kotor/politik uang pada pemilu yang seharusnya melahirkan pemimpin-pemimpin yang murni membawa aspirasi rakyat ketika ada di tampuk kekuasaan.
Calon terpilih jika meraih kemenangan dengan membayar suara rakyat, besar kemungkinan akan memikirkan cara supaya dana yang sudah dikeluarkan pada saat mencalonkan diri dapat kembali atau minimal pulang pokok. Sudah tentu jika itu benar terjadi maka cara satu-satunya adalah bermain proyek atau korupsi.
Hal tersebut, sejalan dengan pendapat Sarah Birch (2009) bahwa korupsi politik dalam pemilu biasanya dilakukan melalui praktik politik uang. Sehingga dapat dipahami bahwa permasalahan politik uang merupakan permasalahan yang telah mengakar dalam penyelenggaraan elektoral di Indonesia. Dalam hal ini, permasalahan politik uang menjadi suatu topik yang menarik untuk diulas.
Disisi lain, hari ini kita sudah ada lembaga yang mengawasi proses berjalannya Pemilu dari awal hingga akhir yakni, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu).
Bawaslu, merupakan lembaga pengawas Pemilu yang sengaja dibentuk untuk mengawasi tahapan penyelenggaraan Pemilu, Menerima aduan, menangani kasus pelanggaran administratif Pemilu serta pelanggaran pidana Pemilu berdasarkan tingkatan sesuai peraturan perundang-undangan Bawaslu diatur dalam Undang-undang No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.
Pembentukan lembaga ini juga belum pasti dapat menjamin 100 persen bahwa pemilu akan bebas dari politik uang. Namun, penulis meyakini bahwa Bawaslu mempunyai kekuatan untuk mengikis perlahan-lahan terkait politik uang.
Terakhir, kita semua harus bersepakat bahwa hakikat dari penegakan hukum Pemilu harus dapat mewujudkan nilai-nilai yang mengandung keadilan dan kebenaran. Penegakan hukum tidak boleh dilaksanakan secara tebang pilih.
Penulis juga menekankan, pelaksanaan penegakan hukum Pemilu tidak hanya menjadi tugas penyelenggara, pemerintah dan lembaga penegakan hukum tetapi juga merupakan tugas dari masyarakat.
Penulis: Hairun Laode
Komentar