Freeport dan Ikhtiar Melampaui Nasionalisme

BOGANINEWS – Nasionalisme kini menggelembung. Bukan karena haru biru timnas sepakbola  atau kemenangan heroik ganda putra pada turnamen bulu tangkis. Nasionalisme kembali berbunyi menyusul shock therapy dari Freeport McMoran yang merumahkan 1.087 Karyawan PT Freeport Indonesia, serta ancaman Richard C Adkerson Inc., yang akan menggugat Indonesia di pengadilan Arbitrase Internasional.

Seperti lagu lama, dalih bahwa perpanjangan izin pertambangan atau divestasi saham PT Freeport Indonesia selalu diasosiasikan dengan marwah nasionalisme negara yang tak bisa ditawar lagi. Pemerintah melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 1 tahun 2017 tentang perubahan keempat  atas Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara melakukan perundingan baru soal izin pengerukan sumber daya alam PT.FI di tanah Papua.

Dalam PP baru itu, sekurang-kurangnya pemerintah menegaskan ketentuan bahwa pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) dan Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) yang sahamnya dimiliki oleh asing harus melakukan divestasi saham sampai 51% secara bertahap. Selain itu, pemerintah juga mewajibkan pemegang kontrak karya untuk mengubah izinnya menjadi perijinan pertambangan khusus operasi produksi.

Tidak mengherankan jika langkah pemerintah ini kemudian dianggap sebagai sikap tegas dari sebuah negara yang berdaulat. Namun benarkah sikap itu sudah cukup?
Dampak Freeport Kepada Papua

Freeport dalam ingatan kolektif orang Indonesia berarti tambang emas dan seluruh kekayaan sumberdaya alam di Papua. Ironisnya, ingatan lebih sering hanya sampai sebatas itu saja. Jarang yang mengingat kerusakan alam, ketimpangan ekonomi, dan kekerasan sosial yang semakin runyam di Papua.

Ketidakhadiran pemerintah pada persoalan ini, semakin membenarkan pesimisme bahwa Papua hanyalah soal Freeport, sedangkan manusia di Papua hanya sekadar daki. Tentu bukan hanya manusianya. Papua kini dibebani  kerusakan lingkungan yang serius.

Penting untuk dicatat bahwa produksi tailing (sisa dari pasir yang mengandung bahan berbahaya) oleh Freeport pada 2007 telah mencapai 223 ribu ton per hari. Tailing ini akan dialirkan melalui aliran Sungai Ajkwa. Itu artinya dalam waktu 10 tahun terakhir Freeport telah menghasilkan kerusakan wilayah produktif berupa sungai, lahan basah (wetland) dan hutan seluas 120 ribu hektar di Kabupaten Mimika.

Kerusakan bisa bertambah parah jika operasi tambang PT Freeport Indonesia itu tetap akan dilakukan hingga 2041. Tailing Freeport menjadi ancaman serius terhadap perkembangan wilayah dan keberlanjutan lingkungannya.

Resiko ini belum termasuk rencana pemerintah untuk membangun smelter. Kita tentu masih ingat insiden kebocoran perusahaan smelting di Gresik yang menghabisi nyawa puluhan orang.

Setumpuk ancaman ini mendasari kesimpulan bahwa bukanlah asas pembangunan berkelanjutan yang hendak diupayakan pemerintah, melainkan nalar korporatif untuk mengais keuntungan. Alih-alih membangun, krisis lingkungan yang berdampak pada hilangnya sumber penghidupan masyarakat sekitar masih saja massif dilakukan.

Apa yang sekarang dianggap sebagai “negosiasi” antara pemerintah dengan Freeport pada dasarnya bukanlah proses negosiasi yang biasa kita pahami. Tidak ada relasi yang setara ketika perundingan dilakukan. Rakyat Papua tetap menjadi alas kaki kepentingan ekonomi saja.

Disadari atau tidak, dengan mengoperasikan term nasionalisme dengan iming-iming Freeport dikuasai oleh Indonesia, negara justru telah menggugat satu hal mendasar yang selama ini masih jauh dari sorotan: ketimpangan ekonomi pada Rakyat Papua yang juga tak kalah mengharukan. Bagaimana tentang perjuangan posisi–posisi kelas yang sedang terus menerus bertarung hidup dan mati berebut ruang hidup.

Dari data Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Papua menyebutkan bahwa persentase penduduk miskin di Papua selama enam bulan terakhir mengalami kenaikan sebesar 0,14 persen yaitu dari 28,40 persen pada September 2015 menjadi 28,54 persen pada Maret 2016. Data ini tampaknya cukup untuk meludahi wajah yang kerap kali gemar menyanyikan keuntungan freeport bagi seluruh rakyat Papua.

Jangan lupa bahwa keparahan kemiskinan yang melanda suku-suku tradisional di Papua tidak lain merupakan dosa politik dari Pemerintahnya sendiri. Bahwa kemudian NKRI belum final di tanah Papua adalah satu tanggungan negara yang menuntut untuk segera diselesaikan.

Transformasi dan pemindahan yang dilakukan secara agresif oleh pemerintah untuk memperbanyak jumlah pendatang dari luar Papua, untuk bersaing dengan jumlah penduduk asli Papua hari ini telah membuat gap social-ekonomi yang semakin melebar. Semakin banyak pendatang, orang Papua semakin disingkirkan dan dampaknya tuntutan untuk menentukan nasib sendiri akan semakin kuat.
Koloni di Papua

Sementara di sisi lain, kehidupan tradisi di desa-desa perlahan-lahan lenyap dan desa kemudian berubah menjadi ruang-ruang privat bagi para investor tambang. Papua menjadi pusat kolonial baru untuk memompa uang lebih banyak lagi.

Sesat pikir inilah yang sampai saat ini tertancap pada pola pembangunan yang berlangsung di Papua. Nasionalisme diteriakkan sembari negara tetap melakukan praktik-praktik penguasaan di berbagai wilayah. Lalu masyarakatnya dibiarkan bertarung sendiri untuk sekadar menghela nafas agar tetap hidup.

Meski mengelak, sudah barang tentu konversi paksa ini berbuah pada pemiskinan secara komunal dan besarnya jurang kesenjangan di Papua. Pembangunan Papua yang telah sepenuhnya jatuh ke tangan negara telah menutup pandangan kita tentang kesengsaraan akses ekonomi beberapa kelompok masyarakat dan juga persoalan hak-hak sipil yang tercerabut hingga ke akarnya.

Kita harus mengakui bahwa kemarahan kepada Freeport hari hari ini tak pernah sekeras kemarahan terhadap kekerasan berantai yang terjadi di Papua. Bahkan kita diam ketika suku Amungme diberantas dan dirampas ruang hidupnya. Kita tidak mau tahu soal penyiksaan, pemerkosaan, penghilangan, pembunuhan, dan pemusnahan yang terjadi di sekitar kawasan PT. Freeport Indonesia. Kepedulian yang kita miliki habis dipakai untuk memaki Freeport.

Jika tenaga nasionalisme hanya dipakai untuk memaki, mendamprat dan mengusir Freeport, namun abai pada kekerasan dan pemiskinan yang dilakukan negara dan aparatnya terhadap rakyat Papua, maka nasionalisme berarti hanyalah motif penguasaan belaka. Kita harus bisa melampaui itu jika ingin menjadi bangsa yang menjunjung tinggi kemanusiaan.

Opini kolumnis ini adalah tanggungjawab penulis seperti tertera, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi boganinews.com

Komentar