Berpijak di Atas Bongkahan Emas, Penambang Tradisional Belum Merdeka

BOGANINEWS – Kabupaten Bolaang Mongondow (Bolmong) merupakan daerah yang berada dilintasan cincin api pasifik. Keberadaan gunung berapi serta berada di atas tiga lempeng tektonik yakni lempeng Pasifik, Eurasia dan Indo Australia, merupakan anugerah kekayaan sumber daya alam yang melimpah.
Salah satu sumber daya alam yang menjadi Leading Sector masyarakat Bolmong adalah bahan galian mineral emas. Jika kita menelisik sejarah beberapa abad lalu, Bolmong merupakan daerah Eks Swapraja, yang pernah mengikat kontrak kerja dengan VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie) maupun kerajaan Belanda dalam hal pertambangan emas.
Emas Bolmong di dunia internasional sejak abad ke 17, 18, 19 dan 20 sudah memberikan kontribusi besar untuk perekonomian dunia. Salah satu laporan di abad 17 tahun 1728 dalam jurnal “The Filosophical” oleh Mr. Von Wumb yang menulis kelimpahan emas di Bolmong. Juga ada koran Belanda yang diumumkan di Amsterdan dan Tetterdam tahun 1901 di mana tambang emas Goropahi Lanud mampu menghasilkan 56-57 ribu Gulde hanya dalam produksi 4 bulan. Juga laporan Belanda “Mijnwesen“ produksi di tahun 1920 – 1924 dengan total produksi 15.760 kilogram emas.
Pasca kemerdekaan Republik Indonesia (RI) yang di proklamirkan Presiden pertama RI Soekarno pada tanggal 17 Agustus 1945, lima tahun setelah kemerdekaan, kerajaan Bolaang Mongondow yang saat itu dipimpin Raja Henny Joesoef Cornelis Manoppo, pada tanggal 1 Juli 1950 secara resmi bergabung dengan NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia). Sejak bergabungnya Kerajaan Bolaang Mongondow ke pangkuan ibu pertiwi, aktifitas penambangan rakyat masih terus berlangsung. Bahkan eksplorasi dari PT. ANTAM berlanjut ke PT. Newmont, PT. Avoced dan terakhir PT. J. Resources masih terus dilakukan sampai ke tahapan produksi.
Dari laporan investasi tambang emas dan produksi era baru Indonesia juga melaporkan kondisi yang stabil. Salah satu contoh PT. J. Resources Site Bakan Bolaang Mongondow yang merilis laporan kuartal ke III membukukan pendapatan 153, juta US Dollar. Pendapatan ini diperoleh dari penjualan emas sampai dengan kuartal III 2018, yaitu sebanyak 119,8 kilo oz.
Kekayaan emas yang dimiliki Bolmong merupakan warisan leluhur yang tak pernah ada habisnya. Sayangnya, masyarakat lokal yang melakukan aktifitas penambangan tradisional perlahan mulai tergerus dengan aturan yang tidak berpihak ke rakyat. Hal ini nampak dari berbagai tuntutan masyarakat Desa Bakan yang tergabung dalam aliansi Bakan, saat melakukan aksi unjuk rasa di kantor Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Bolmong Senin (29/6/2020) lalu, untuk meminta pemerintah tidak menutup lokasi tambang emas yang selama ini menjadi sumber utama penghasilan masyarakat setempat. Warga pun meminta agar pemerintah dapat melegalkan areal tambang masyarakat menjadi Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR).
Dari penuturan warga setempat, semenjak Polres Kotamobagu menertibkan PETI (Penambangan Tanpa Izin) di Bakan, ratusan warga kehilangan pekerjaan. Jika sebelumnya mereka tidak kesulitan masalah keuangan untuk menyekolahkan anak ke perguruan tinggi karena memiliki penghasilan yang cukup, tapi kini makan saja mereka kesulitan. Kondisi ini menuntut sebagian besar masyarakat terpaksa nekat melakukan penambangan secara sembunyi-sembunyi dengan risiko yang besar. Warga nekat mempertaruhkan nyawa demi bertahan hidup dengan menerobos masuk ke lubang galian emas yang sempit, dengan kondisi batuan yang sudah rapuh tanpa memiliki penyangga. Dari fakta yang ada, puluhan penambang tradisional di lokasi Bakan, tertimbun dalam lobang galian, bahkan jasad mereka banyak yang tak bisa lagi di evakuasi. Jika tuntutan masyarakat ini terpenuhi dan mereka memiliki WPR, maka pemerintah bisa mengatur metode penambangan dengan baik, ramah lingkungan, serta bisa menyelamatkan ratusan nyawa para penambang emas tradisional.
Selain di Bakan, Bolmong juga memiliki banyak potensi mineral emas di lokasi lainnya seperti Monsi, Dumoga, Hulu Tonom, Oboi, Potolo, Mengkang dan sejumlah lokasi yang belum tereksplor. Kondisi yang sama juga ikut dirasakan para penambang emas yang ada di lokasi ini. Mereka melakukan aktivitas penambangan dengan cara ilegal untuk menyambung hidup. Dalam kondisi Pandemi Covid-19 ditambah bencana banjir yang menghantam hampir seluruh wilayah Bolmong, masyarakat semakin terjepit secara financial. Bagi para petani yang mengalami gagal panen karena faktor alam, mereka terpaksa beralih ke tambang emas tradisional.
“Kami tidak ada pilihan, hasil panen gagal. Meski hasil panen baik, tapi harga komoditi di pasaran anjlok, sehingga kami hanya mengalami kerugian. Saat ini hanya dengan menambang emas bisa untuk menyambung hidup dengan berbagai kebutuhan rumah tangga dan keluarga,” aku Afriadi Tungkagi, warga Dumoga, yang saat ini terpaksa hijrah ke Kalimantan untuk menambang emas.
Diungkapkannya, jika ia nekat menambang di wilayah Bolmong, akan banyak risiko yang akan ditemui. “Jika kami tertangkap aparat karena menambang secara ilegal, maka kami akan dipenjara. Kalau kami dipenjara, siapa yang akan menafkahi istri dan anak-anak. Sehingga saya dan beberapa penambang tradisional memutuskan untuk keluar daerah untuk mencari nafkah,” aku Afriadi.
Persoalan perizinan WPR untuk masyarakat ini sudah banyak di bahas pada ruang-ruang diskusi mulai dari diskusi publik, hingga diskusi kelas kedai kopi. Tujuannya memberikan kesempatan kepada masyarakat lokal untuk meningkatkan perekonomian di sektor pertambangan emas, serta ikut memberikan kontribusi untuk pendapatan daerah. Namun dengan berubahnya kebijakan dimana daerah tidak lagi memiliki kewenangan untuk menerbitkan perizinan pertambangan emas berupa WIUP (Wilayah Izin Usaha Pertambangan) yang kini sudah di ambil alih Pemerintah Pusat, maka harapan masyarakat untuk menambang secara legal semakin kecil.
Pemerhati tambang emas tradisional Levli Makalunsenge mengungkapkan, sejak era kolonial hingga sekarang, masyarakat hanya diberikan kesempatan saat masih ada WPR di Lanud, yang saat ini masuk wilayah administratif Bolaang Mongondow Timur (Boltim). Tapi sejak masuknya PT. Avoced dan kemudian di take over ke PT. JRBM, masyarakat penambang lokal akhirnya angkat kaki.
“Untuk wilayah Bolmong sendiri, masih memiliki banyak areal yang prospek untuk dijadikan WPR selain koperasi Perintis di Tanoyan yang memiliki IUP (Izin Usaha Pertambangan). Namun keberadaan koperasi di Tanoyan tidak cukup untuk menampung keberadaan penambang emas di Bolmong, karena hanya memiliki areal seluas 100 hektar. Sudah saatnya masyarakat Bolmong diberikan kemerdekaan untuk menambang di negeri leluhurnya yang kaya akan emas,” kata Levli.
Menurutnya, saat ini para penambang di Bolmong sudah memiliki banyak pengetahuan terkait metode pengolahan emas modern. Meski masih menggunakan teknik penambangan ala tradisional, tapi para penambang sudah pintar dengan berbagai cara pengolahan  yang cukup maksimal untuk menangkap emas. “Jika sebelumnya masyarakat masih menggunakan mercuri atau air raksa untuk menangkap emas, tapi dengan berkembangnya ilmu pengetahuan, masyarakat sudah paham dengan pengolahan menggunakan Sianida (Cn) baik menggunakan tong atau sistem leaching dengan cara penyiraman atau rendam,” terang Levli. (*)
Penulis: Sutrisno Tola

Komentar