BOGANINEWS, BOLMONG – Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) memfasilitasi rapat pertemuan percepatan penyelesaian penagasan segmen batas daerah antara Pemerintah Kabuaten (Pemkab) Bolaang Mongondow (Bolmong) dan Pemkab Bolsel, Kamis (14/10/2021).
Pertemuan tersebut dilaksanakan Di Hotel Best Western Lagoon Manado, dan dipimpin langsung oleh Direktur Toponimi dan Batas Daerah Ditjen Bina Administrasi Kewilayahan Kemendagri yakni Pak Sugiarto, SE, M.Si, Asisten Pemerintahan dan Kesejahteraan Rakyat Sekda Provinsi Sulawesi Utara yakni Dr. Denny Mangala, M.Si, serta dihadiri langsung oleh Bupati Bolmong Yasti Soepredjo Mokoagow, Bupati Bolsel Iskandar Kamaru, Sekda Bolmong, Sekda Bolsel dan masing-masing jajarannya.
Dengan adanya pertemuan itu, Bupati Bolmong pun mengapresiasi langkah dari Kemendagri dan Pemerintah Propinsi Sulawesi Utara untuk menyelesaikan batas antar kedua daerah.
“Dalam pertemuan telah ada kesepakatan batas menyangkut 36 Titik Koordinat yang sebelumnya memang telah disepakati kedua daerah,” ungkap Yasti.
Meski begitu kata Yasti, kedua daerah tidak mendapatkan titik temu untuk 4 titik koordinat yakni garis batas antara PBU 30 s/d PBU-25. Dimana, Pemkab Bolsel masih mengacu terhadap UU 30/2008 tentang pembentukan Kabupaten Bolsel), sedangkan Pemkab Bolmong mengacu ke Putusan MA No. 75P/HUM/2018,” ujar Yasti.
“Tidak tercapainya titik temu tersebut, telah dituangkan dalam berita acara,” kata Yasti.
Menurut Yasti, Pemkab Bolmong Pemkab Bolmong telah berkomitmen untuk menghormati dan memperjuangkan kesepakatan adat sebelumnya baik di Tahun 2004 (Tapa’ Mosolag) dan 2008 (Puncak Toliomu).
“Kesepakatan adat tersebut, menjadi salah satu pertimbangan Hakim MA dalam memutus permohonan Judicial Review kami, dan telah sangat jelas secara materil mengapa Permendagri 40/2016 dibatalkan karena mengesampingkan kesepakatan adat yang telah ada sebelum UU pemekaran Bolsel lahir,” kata Yasti.
Sementara itu, Asisten I Pemkab Bolmong, Deker Rompas mengatakan, dalam UU 30/2008 dijelaskan bahwa mengenai batas daerah akan diatur kemudian dengan Permendagri, dan Lampiran UU 30/2008 tersebut hanyalah peta indikatif yang tidak memiliki titik koordinat, sehingga bagi kami menjadikan UU 30/2008 sebagai dasar lemah secara hukum dan argumentasi.
“Kami juga telah mengajukan beberapa bukti tambahan untuk memperkuat argumentasi serta data-data menyangkut batas daerah antar kedua daerah,” kata Deker.
“Kami memahami betul Permendagri 141/2018 telah mengatur hal tersebut dimana dalam (Pasal 29) “Dalam hal tidak terdapat kesepakatan penyelesaian, Menteri memutuskan perselisihan dengan mempertimbangkan: a. Berita acara hasil rapat sebagaimana dimaksud dalam pasal 27, dan/atau b. Aspek sosiologis, historis, yuridis, geografis, pemerintahan dan/atau aspek lainnya yang dianggap perlu,” sebutnya.
Lanjutnya, bahwa dengan mempertimbangkan hal tersebut, kami meyakini Kemendagri akan memutuskan permasalahan ini secara arif, bijaksana dan tentu dengan mempedomani Ketentuan Per UU yang berlaku.
“Untuk itu kami optimis Permendagri baru yang akan terbit nanti akan mengakomodir kesepakatan batas adat bagi kedua daerah,” terangnya.
Sementara itu, Direktur Toponimi dan Batas Daerah Ditjen Bina Administrasi Kewilayahan Kemendagri Sugiarto menyampaikan, kesepakatannya adalah mereka sepakat untuk diserahkan ke pemerintah pusat Kemendagri dalam hal ini untuk ditetapkan kembali dengan koreksi-koreksi yang ada di MA dengan mengacu pada UU yang ada.
“Nanti Pusat akan menindaklanjuti dengan merapatkan dengan Tim Penegasan Batas Daerah (TPBD) pusat. Aturannya di Permendagri 141 Tahun 2017 tentang penegasan batas daerah,” katanya.
Ia juga menyampaikan, target kementerian akan secepatnya menetapkan tapal batas. Namun, untuk diketahui ada 3II tapal batas Daetah di Indonesia yang sementara dikaji dan akan diselesaikan.
“Intinya akan diselesaikan secepatnya,” kata Sugiarto. (Advertorial)
Komentar