Lelucon yang Tak Lucu dari Penguasa Negeri

MENTARI pada posisi tertingginya, sama seperti posisi para pemimpin. Terik dan membakar kulit. Sesekali si kakek perlu mengangkat tangan agar sinar matahari tidak menyentuh wajah yang memang sudah melegam. Motor butut yang dinaiki terdengar terkentut-kentut, mendesing ganas, tapi tak cukup bertenaga. Ibarat pemimpin yang bersabda saat pemilu dengan suara lantang dan membara, seolah-olah bisa mewujudkan kata menjadi aksi nyata.

Terlihat beberapa kendaraan sudah mengantri untuk melewati sungai menggunakan bambu yang di ikat. Maklum, di sini jembatan hanya tiangnya yang berdiri kokoh, itu pun hampir hanyut. Tidak bisa di lewati kecuali seseorang punya ilmu kanuragan. Makannya masyarakat setempat memanfaatkan rakit sebagai satu-satunya alat transportasi untuk melintasi sungai, meski amat berisiko. Siapa yang ingin melewatinya dengan berenang, apalagi saat banjir yang bisa meluap seperti kemarahan Tuhan. Itu konyol sekali.

Bebatuan terjal menganga di sepanjang jalan, seolah bersiap menangkap mangsa sebenarnya, itu lebih mirip sungai yang kering dibanding jalanan. Sesekali motor tua yang dinaikinya terbatuk-batuk tak lagi sanggup melangkah. Sayang, si kakek adalah satu dari sekian banyak orang di Negeri ini yang makan saja sering kesusahan dan harus mengutang di warung tetangga, mana sempat membeli motor baru. Kecuali ia mau menabung 20 tahun lamanya.

“Dulu saat si ini dan si anu datang memamerkan janji untuk perbaikan jalan dan jembatan, dengan nada suara yang yakin dan sedikit memelas meminta didukung dan dimenangkan. Namun lihat, setelah terpilih dan menggenggam jabatan serta gaji yang bergelimang, masyarakat dilupakan, diterlantarkan, dicampakkan, seolah-olah si Tuan tak pernah melayangkan janji yang menenangkan,” tutur si kakek dengan suara mengelegar dalam diam meski sedang sendirian, solah-olah hewan dan tumbuhan adalah mata-mata paling lihai lagi kejam.

Si kakek hidup di Negara yang bebas berpendapat, tapi jika sudah mengeluarkan pendapat seolah-olah jeruji besi siap menerkam, itulah sebab diam lebih mengagumkan daripada berkoar dengan lantang kemudian berurusan dengan pihak Kepolisian. Padahal hanya menagih janji yang disabda-sabdakan sang penguasa bertahun-tahun silam.

Ia terus memacu motornya yang sudah tak lagi kuat, menyusuri jalanan yang jika ibu hamil melewatinya bisa dipastikan keguguran.

“Sudahlah, tak ada gunanya mengeluh. Itu tak akan merubah apapun,” gumamnya, sembari terus berjalan di bantaran bebatuan, menguatkan hati yang nyaris mati oleh keadaan.

Dua ratus meter kemudian si kakek sudah memasuki perkampungan kumuh yang tersembunyi di balik pepohonan. Ada nama kampung tertulis di papan kayu yang mulai lapuk di makan rayap yaitu Desa Goyo. Desa dengan segala keterbatasan, dengan janji yang selalu dilayangkan setiap kali pemilu datang. Tentunya janji yang sama seperti periode kemarin. Kurang lebih begini janji itu jika si kakek tak salah mengingat.

“Jika saya terpilih, saya akan membuat masyarakat menjadi lebih baik, baik dari segi ekonomi dan infrastruktur. Saya akan membuat jembatan dan mengaspal jalan, sehingga memudahkan masyarakat,” tutur si anu saat kampanye pemenangan, kata sang kakek.

Masyarakat setempat sudah terbiasa dengan hal itu, menganggapnya sebagai guyonan yang memang tidak lucu dari pemimpin yang mudah amnesia ketika sudah berada di posisi tertinggi. Lelucon yang menggelikan, tapi tidak untuk ditertawakan.

Penulis: Alin Pangalima

Komentar