Diogo de Magelan, Punu’ Makalalo dan Mokodompit Abad XVI

BOGANINEWS, BOLMONG Sejak terjadi peralihan kekuasaan dari Datu’ Loloda Mokoagow (1670-1691) ke Raja Jacobus Manoppo (1691-1730), pengaruh ‘gospel’ yang dibawa Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) mulai berpengaruh kuat di Kerajaan Bolaang Mongondow.  Meski demikian, pengaruh Islam di kalangan masyarakat bawah tetap berlangsung setahap demi setahap. Karena itu ancaman satu-satunya bagi VOC hanyalah Islam di Kerajaan Bolaang Mongondow.
Islam di Bolaang Mongondow memang telah tumbuh sejak lama berkisar abad ke-16. Keberadaan Islam di Bolaang Mongondow dicatat dalam disertasi B.J.J. Visser berjudul “Onder Portugeesch-Spaansche Vlag; De Katholieke Missie van Indonesie 1511-1605” yang diterbitkan oleh N.V. de R.K. Boek – Centrale – Amsterdam, tahun 1925. Visser menulis tentang perjalanan seorang Pastor Katolik yang bernama Diogo de Magellan.
Diogo de Magelan adalah seorang pastur Katolik berkebangsaan Portugis yang datang ke Manado pada Mei 1563. Kedatangannya di sana di sambut oleh Raja Manado dan rakyatnya dengan sukacita sebagaimana dalam laporan perjalannannya yang ditulis oleh Visser dalam karyanya. “Na vier dagen varens kwam men behouden te Manado aan, nog in de maand Mei 1563. Met veel vreugde werd daar de komst van den Missionaris begroet. De radja en het volk van Manado toonden zich zeer begeerig om den godsdienst der Portugeezen aan te nemen en zij drongen bij den Missionaris er op aan.” (hlm. 180)
“Setelah berlayar selama 4 hari mereka tiba di Manado, masih pada bulan Mei 1563. Kedatangan misionari disana diterima dengan penuh sukacita. Raja dan rakyat Manado sangat tertarik untuk menerima agama Portugis dan mereka mendorong misionaris untuk menghabiskan sebagian waktu di kampung mereka.”
Pernyataan Magelan di atas memuat sebuah fakta bahwa di tahun 1563, wilayah Manado, telah ada Raja yang secara ‘de facto’ menguasainya. Sam Narande dalam ‘Vadu La Paskah’ menyatakan bahwa 1500 orang telah di baptis di Manado bersama Rajanya. Tentang siapa Raja Manado ini, Narande mengarah kepada Punu’ Kinnalang Damopolii.
Pendapat Narande terkait pembaptisan Raja dan 1500 orang pengikutnya juga terdapat dalam laporan Magelan berikut;
De radja en vijftien honderd volgelingen werden daartoe toegelaten; voor de rest der bevolking werd de opname in den schoot der Katholieke Kerk tot later verschoven. De Manadoneezen worden ons beschreven als een oorlogszuchtig volk, maarvan de naam alleen reeds de omringende volkeren met schrik vervult.” (180-181).
“Raja dan 1500 pengikutnya menganut/ikut ajaran tersebut. Untuk populasi lainnya konversi ke Katolik ditunda hingga waktu kemudian. Orang-orang Manado digambarkan sebagai orang-orang suka berperang, mendengar namanya saja sudah bisa menakuti orang-orang di sekitar.”
Berdasar pada catatan di atas, maka sejak abad ke-16, Manado secara de facto diakui oleh Portugis sebagai wilayah kekuasaan Kerajaan Bolaang Mongondow. Yang perlu dikritik dari kesimpulan Narande adalah, benarkah Raja Bolaang Mongondow yang dibaptis di Manado adalah Kinnalang Damopolii?, saya justru mengarah pada Punu’ Makalalo (1530 – 1570).
Pendapat ini didasarkan pada priode kedatangan Magelan tahun 1563 yang justru bertepatan dengan masa kekuasaan Punu’ Makalalo (1530-1570) di Kerajaan Bolaang Mongondow. Periode ini didasarkan atas data dalam buku H.J.A. Damopolii ‘Dodandian, Kinotanoban dan Kisahku’. Kekuasaan Punu’ Kinalang Damopolii yang memerintah tahun 1443-1493 justru jauh sebelum kedatangan Magelan.
Menurut Visser, Diogo de Magelan adalah penginjil pertama yang mengajarkan keberkatan Tuhan di wilayah utara Celebes. Ia membawa ajaran Katolik yang kemudian langsung diterima oleh Punu’ Makalalo dan 1500 pengikutnya.
Selama 15 hari di Manado, ia melanjutkan perjalaan ke Bolaang Mongondow di Kaidipan. Dalam perjalanannya Magelan melihat di wilayah Manado dan sekitarnya masih terdapat bekas-bekas tempat pengorbanan dan patung-patung yang telah dihancurkan. Ia lalu melanjutkan perjalanan ke Kaidipan untuk menyebaran keberkatan.
Magelan melaporkan bahwa di Kaidipan saat itu telah terdapat dua kelompok masyarakat yang saling berbenturan yakni Islam dan kelompok lain yang tidak suka dengan keberadaan agama ini. Mereka lalu meminta kepada Magellan untuk mendatangkan pembawa berita (penginjil) dari Ternate ke sana.
Saat berada di Kaidipan antara Mei-Juni 1563, ia disambut oleh Anak dari Raja Manado, yakni Pangeran Mokodompit yang juga kelak mewarisi kekuasaan ayahnya, Punu’ Makalalo.
Magelan menulis; “Dan ging de Missionaris zijn reis voortzeetten langs de kust van Celebes naar Bolaang Mongondow.  gestvrij werd Pater Diogo opgenomen door den Radja, een zoon van den vorst van Manado.” (hl. 181), “Lalu misionaris melanjutkan perjalanannya sepanjang pantai dari Sulawesi ke Bolmong. Dengan ramah Pater Diogo diterima oleh Radja, seorang putra/pangeran dari Raja Manado.”
Pangeran yang menyambut Magelan adalah Mokodompit karena dialah putra satu-satunya Punu’ Makalalo sebagaimana pada slakbom (pohon keturunan) yang ditulis oleh N.P. Wilken dan J.A. Schwarz dalam dokumen kolonial yang berjudul “Mededeelingen Van Wege Het Nederlandsche Zendelingge Ootschap; Bijdragen tot de kennis der zending’ en der taai, land- en volkenkunde van itederlundscli indie”, diterbitkan oleh Bestuurders van Voornoemd Genootschap. Rotterdam, 1871.
Wilken dan Schwarz mendapatkan slakbom ini melalui Raja Johanes Manuel Manoppo (1862-1878). Slakbom ini ditulis oleh Djogugu Damopolii sejak tahun 1836. Setelah selesai menyalin semua silsilah dalam slakbom itu, mereka berdua mengembalikannya lagi kepada Raja.
Dari laporan perjalanan Magelan ke Kaidipan dapat disimpulkan bahwa Islam telah ada di Kaidipan sejak abad ke-16. Pengaruh Islam di sana lalu menyebar ke wilayah lain disekitarnya meski belum bisa diterima seluruhnya oleh masyarakat. Informasi lainnya adalah bahwa di abad ke-16, Mokodompit telah menjadi penguasa di wilayah Kaidipan.
Sebagai seorang pangeran, anak dari Raja Manado, ia bertanggung jawab menjaga keamanan wilayah kekuasaan Kerajaan dari kemungkinan terjadinya gesekan antara kelompok Islam di sana dan kelompok lainnya yang belum mengenal agama. (*)

Oleh : Murdiono Prasetio A. Mokoginta

*Penulis adalah Ketua Lembaga Pusat Studi Sejarah Bolaang Mongondow Raya (PS2BMR).

Komentar